Adalah
suatu kepastian yang sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kehidupan
manusia merupakan suatu proses sosial budaya yang setiap saat mengalami
perubahan dan pergerakan. Hal tersebut tentu akan menyebabkan adaya
unsur catatan hidup manusia itu sendiri, baik di masa lampau yaitu
priode kurun ke kurun sejarah ataupun kejadian di masa sekarang yang
mungkin suatu saat akan mengalami perobahan atas dasar keinginan manusia
sesuai dengan kondisi dan perkembangan jaman.
Karena
itu tugas kita sekarang adalah antara lain menyelamatkan dan memelihara
hasil budaya manusia terdahulu. Sisa-sisa peninggalan orang-orang
terdahulu itu penting dipelihara sebagai pelajaran hidup bagi generasi
berikutnya.
Dari
puing-puing reruntuhan bangunan sisa kota Banten Lama, yang sekarang
terletak di desa Banten 9 km dari kota Serang, kita dapat mengamati
beberapa peninggalan sebuah kota Islam terbesar yang pernah ada, yaitu:
1. Keraton Surosowan
Keraton Surosowan adalah tempat kediaman sultan Banten, yang oleh orang Belanda disebut Fort Diamant atau Kota Intan,
yang dikelilingi oleh tembok perbentengan seluas ± 4 hektar. Keadaan
keraton itu kini sudah hancur, yang nampak hanyalah sisa bangunan saja
yang berupa pondasi-pondasi serta tembok-tembok dinding yang sudah
rusak.
Menurut
Babad Banten, keraton ini dibangun oleh raja Banten pertama yakni
Maulana Hasanuddin (1526 – 1570). Pembangunan tembok benteng dibangun
oleh raja Banten kedua, Maulana Yusuf (1570 – 1580), dengan bangunan
benteng yang disusun dari batu bata dan batu karang. Benteng ini
kemudian dirobah bentuknya menjadi bastion dan ditambah dengan tembok
batu karang di bagian luar, hingga benteng tampak lebih kuat dan kekar
oleh Hendrik Laurenzns Cardeel (1680 – 1681) pada masa pemerintahan
Sultan Haji (1672 – 1687).
Keraton
Surosowan ini telah mengalami penghancuran berkali-kali. Kehancuran
total yang pertama kali terjadi ketika perang saudara antara Sultan
Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC yang dibantu putra mahkota Sultan Haji
pada tahun 1680. Akibat perang ini, keraton Surosowan dibumi-hanguskan
oleh Sultan Ageng Tirtayasa sebelum melanjutkan perlawanan dari
Tirtayasa.
Setelah
Sultan Haji dinobatkan menjadi raja Banten pengganti ayahnya, ia
meminta bantuan seorang arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel,
untuk membangun kembali istananya. Cardeel meratakan dan kemudian
membangunnya kembali keraton tersebut di atas puing-puing reruntuhan
keraton.
Kehancuran
keduakalinya dan ini yang terparah ialah terjadi pada tahun 1813, saat
mana Gubernur Jendral Belanda waktu itu Herman Daendels memerintahkan
penghancuran keraton. Hal ini disebabkan karena Sultan Banten yang
terakhir, Sultan Rafiuddin, tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibat
penghancuran ini, maka tidak tersisa sedikit pun bangunan keraton yang
masih dalam keadaan utuh. Keraton itu kemudian ditinggalkan penghuninya,
dan terbengkalai tanpa ada yang memperhatikannya lagi.
Dari
penelitian dan penggalian arkeologis, ternyata perubahan desain keraton
Surosowan ini sering terjadi karena para sultan yang memerintah Banten,
sering menambah, mengubah dan memperbaiki bentuk bangunan keraton.
Perubahan desain ini mudah diamati dengan cara melihat perubahan
struktur fondasi bangunan, pemotongan dinding dan penggantian bentuk
serta susunan bangunan.
Pintu
gerbang istana terletak di sisi benteng sebelah utara menghadap ke
alun-alun. Berdasarkan peta lama, bahwa di sisi benteng sebelah timur
pun ada terdapat pintu masuk, namun kini sudah tidak nampak lagi. Di
setiap sudut benteng terdapat bagian tembok tebal yang menjorok ke luar,
sedang pada setiap sisi sudut bagian dalamnya ditemui pintu-pintu masuk
ke dalam ruangan yang tercapai pada tembok benteng itu.
Pada
mulanya keraton dikelilingi pula oleh parit-parit, akan tetapi kini
hanya sebelah barat dan selatannya saja yang masih ada. Di bagian tengah
keraton itu terdapat bekas “pemandian sultan” dan beberapa kolam
lainnya; yang dinamairara denok dan pancuran mas, yang airnya dialirkan dari suatu tempat yang dinamai Tasikardi,
danau buatan yang terdapat di sebelah selatan Keraton Surosowan.
Beberapa saluran/irigasi dari Tasikardi sampai ke keraton Surosowan
tampak teratur.
Dalam
penyaluran air bersih digunakan pipa besar dan kecil (dari garis tengah
2 cm hingga 40 cm), terbuat dari terrakota, hingga langsung ke
kran-kran logampancuran mas.
Untuk penjernihan air yang nanti digunakan sebagai air bersih bagi
penduduk kota dan kraton, digunakan cara penyaringan dengan teknik
pengendapan dan poriositas batuan, pasir dan ijuk di pangindelan abang,pangindelan putih, dan pangindelan mas, tiga buah bangunan semacam benteng kecil yang kokoh dan kuat, terdapat di pinggir jalan dari Surosowan ke Tasikardi.
2. Meriam Ki Amuk
Meriam
yang dikeramatkan oleh sebagian penduduk, (dulu) ditempatkan di dekat
kanal di bawah sebuah gubuk beratap tanpa tembok, yang diletakkan
menghadap utara seperti disiapkan untuk menembak kapal musuh yang hendak
merapat ke pantai Karangantu.
Di atas bagian moncongnya, terdapat suatu prasasti bertuliskan huruf Arab yang berbunyi “Aqikatul Khoirisala matul imani” dengan bagian pangkal berbentuk tangan yang mengepal dengan ibu jari ke luar mengarah ke atas.
Menurut
K.C. Crucq yang telah mengadakan penelitian terhadap meriam-meriam yang
berasal dari bekas kesultanan Banten, prasasti tersebut merupakancandra sengkala yang menunjuk angka tahun saka 1450 (1528 – 1529 M). Selanjutnya menurut Crucq bahwa meriam Ki Amuk ini ada hubungannya dengan meriam Ki Jimat, yaitu meriam yang dihadiahkan oleh Sultan Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.
Beberapa
tahun setelah adanya pengerukan kanal Karangantu oleh KOP Bhakti Rem
064 Maulana Yusuf tahun 1967, meriam tersebut pernah hilang dari
tempatnya. Dan setelah diadakan pemugaran Mesjid Agung Banten oleh
Pertamina pada tahun 1974 meriam tersebut ditemukan kembali dan oleh
Direktorat Sejarah dan Purbakala ditempatkan di sudut tenggara
alun-alun, tidak jauh dari pintu gerbang bagian utara benteng Surosowan.
3. Watu Gilang
Watu
Gilang adalah sebuah batu berbentuk segi empat dengan permukaannya yang
datar dan terbuat dari batu andesit. Batu tersebut terletak di sebelah
timur laut meriam Ki Amuk. Menurut Babad Banten, batu ini dipergunakan
sebagai tempat pengambilan sumpah para sultan/penobatan raja.
4. Watu Singayaksa
Batu
ini terletak di alun-alun kota Lama Banten. Di masa kesultanan,
dipergunakan untuk mengumumkan semua titah/peraturan-peraturan sultan
yang disampaikan oleh seorang ulama.
Menurut
dongeng rakyat, batu ini pernah dipakai sebagai tempat bertapa Sang
Batara Guru Jampang, yang karena lamanya ia bertapa, hingga
burung-burung membuat sarang di atas tutup kepalanya.
5. Mesjid Pecinan Tinggi
Masjid
ini terletak ± 100 meter di sebelah kiri jalan raya, dekat rel kereta
api, di kampung Dermayon. Disebut Masjid Pacinan Tinggi karena dahulunya
banyak orang-orang Cina berdagang dan bertempat tinggal di sana semasa
Maulana Hasanuddin. Bangunan tersebut kini tinggal puing reruntuhan,
dengan sisa menara, dan mihrab
(peng-imaman mesjid), adapun lainnya hanya sisa pondasi bangunan induk
yang terbuat dari batu karang dan bata tanah liat. Menurut catatan
sejarah, mesjid ini adalah mesjid yang pertama dibangun oleh Syarif
Hidatullah yang dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin.
Beberapa
puluh meter dari Masjid Pecinan Tinggi, di daerah Pecinan (dulu),
terdapat bangunan tua sebuah rumah kuno gaya Cina yang masih utuh (masih
dihuni oleh seorang keturunan Cina) persis di persimpangan jalan menuju
ke Mesjid Agung; yang mungkin sisa rumah di pecinan. Ke arah utaranya
lagi dari rumah tua tersebut, terdapati pintu gerbang dan klenteng Cina.
Klenteng
pertama dengan “Dewi Kwan Im”-nya yang pertama dibangun semasa raja
pertama Banten, yang letaknya di daerah Pecinan ini. Sedangkan klenteng
“Dewi Kwan Im” yang sekarang, belum diketahui kapan dibangunnya; yang di
tempat itu sebenarnya, di muara sungai Cibanten dengan jembatan
jaganya, tempat berdirinya bangunan pintu masuk pelabuhan pertama Banten
─ sewaktu kedatangan Cornelis de Houtman ke Banten (1596) ─ dengan
gudang-gudang penimbunan barang untuk eksport kesultanan Banten. Di
tempat ini pun didapati runtuhan bekas menara penjaga petugas pelabuhan,
di sebelah kanan muara Cibanten.
6. Kompeks Mesjid Agung Banten
Komplek Mesjid Agung Banten ini terdiri dari :
- Bangunan
Mesjid Agung dengan serambi yang penuh dengan makam di kiri kanannya.
Berdasarkan sejarah Banten, mesjid ini didirikan pada masa pemerintahan
Maulana Hasanuddin. Seperti juga mesjid-mesjid lain, bangunan mesjid ini
pun berdenah segi empat. Atapnya terbuat dari kayu bersusun berbentuk
limas. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara terdapat
makam beberapa sultan Banten dan keluarganya. Di antaranya terdapat juga
makam Maulana Hasanuddin dan istrinya, makam Sultan Ageng Tirtayasa,
dan makam Sultan Abul Nasr’ Abdul Qahar (Sultan Haji). Sedang di dalam
serambi kanan yang terletak di sebelah selatan terdapat makam Maulana
Muhammad, makam Sultan Zainul Abidin dan lain-lain.
- Bangunan
Tiyamah, bangunan ini merupakan bangunan tambahan. Dibangun oleh
Hendrik Lucasz Cardeel seorang arsitek bangunan Belanda, sebab itulah
bangunan tersebut merupakan desain Eropa. Dahulu tempat ini dipakai
untuk berdiskusi dan bermusyawarah soal-soal keagamaan.
- Menara;
Menara ini terletak di halaman depan Mesjid Agung Banten. Bangunan ini
terbuat dari batu bata dan tingginya 30 meter, yang juga dibangun
kembali oleh Lucasz Cardeel. Menurut Babad Banten, menara ini dibangun
sejak Maulana Yusuf oleh arsitek asal Mongol, Cek Ban Cut.
Kapan
bangunan ini didirikan tidak diketahui dengan pasti. Di dalam “Jaurnal
van de Reyse” (De Eerte Schipvaart der Nederlanders naar Oost Indie
onder Cornellis de Houtman, 1595 – 1597), terdapat sebuah peta Banten
yang memperlihatkan adanya menara tersebut, sedangkan di dalam sejarah
Banten antara lain disebutkan bahwa: “Kanjeng
Maulana (Hasanuddin) adarbe putra satunggal lanang jeneng putra mangke
nuli den wastanne Maulana Yusuf ingkang puniko jeneng Yusuf sampung gung
ikeng putra pan sampan adarbe rayi nalika iku waktu ning wangun
munare.”
Berdasarkan
atas pemberitaan tersebut K.C. Crucq berpendapat bahwa menara Mesjid
Agung Banten sudah ada sebelum 1596/1570, dan berdasarkan tinjauan seni
bangunan dan hiasannya ia berkesimpulan bahwa menara tersebut didirikan
pada pertengahan kedua abad XVI, yaitu antara tahun 1560 – 1570.
- Komplek
makam di halaman sisi sebelah utara. Di sini banyak terdapat kuburan
keluarga serta kerabat sultan. Di antaranya terdapat kubur salah seorang
panglima perang yang terkenal dengan julukan Pangeran Gula Gesen. Di
dalam ruang makam terdapat 9 buah makam sultan dan para keluarganya,
yakni Sultan Hasanuddin, Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin,
anak dan istrinya. Di luar ruang makam ini, masih di sebelah utara
mesjid, terdapat pula makam-makam kuno bercampur dengan pemakaman umum,
antara lain Sultan Ageng Tirtayasa dan istrinya, juga Sultan Abu Nasr
Abdul Kahar (Sultan Haji).
7. Pasar dan Pelabuhan Karangantu
Karangantu
menjadi pelabuhan utama dan pasar, difungsikan sebagai pelabuhan dagang
bagi lingkup lokal maupun asing. Kunjungan Tome Pires ke Karangantu
tahun 1513 belum melihat pentingnya tempat ini, karena pelabuhan Sunda
Kelapa masih merupakan pelabuhan terpenting bagi Pajajaran. Pada abad
berikutnya Karangantu menjadi pelabuhan utama, sejak Banten diislamkan
dan aktivitas Banten Girang dipindahkan ke Banten Lama. Sejak akhir abad
XVI Karangantu menjadi bandar internasional utama untuk Indonesia
bagian barat, terutama akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis.
Perkembangan
dan pertumbuhan Karangantu, baik sebagai pelabuhan maupun pasar, antara
lain dapat ditelusuri melalui kajian foto udara, peta-peta kuno maupun
fakta-fakta arkeologis di lapangan, diduga keletakan berubah dari
keadaan sekarang.
Dari
peta kuna yang dibuat oleh de Houtman ketika mengunjungi Banten pada
tahun 1598, memperlihatkan bahwa kota Banten dikelilingi tembok kota dan
tampak pula pasar Karangantu dikelilingi oleh pagar kayu dan bambu.
Pada saat itu perluasan kota Banten mengarah ke bagian timur.
Sementara
itu berdasarkan peta yang dibuat oleh Valentijn pada tahun 1725,
terlihat bahwa pasar Karangantu masih ditempatnya semula dan mulai
dipenuhi dengan rumah-rumah pemukiman.
Pada
abad-abad XVII-XIX M, seperti tampak pada peta Serrurier yang tersohor
itu, Karangantu tidak lagi ditandai sebagai sebuah pasar, hanya diberi
catatan sebagai sebuah pelabuhan yang dikelilingi tambak ikan. Dewasa
ini situs ini menjadi tidak penting lagi, kecuali ditandai oleh daerah
pertambakan dan rawa-rawa di kampung Bugis.
Pelabuhan
Karangantu berkembang dan tumbuh menjadi pusat berbagai aktivitas
komersial dan bisnis, toko-toko dan pasar utama, transaksi antara para
pedagang Cina dan Arab (terutama). Di sini pula terdapat pemukiman para
nelayan, dok kapal-kapal, tempat pembuatan garam. Sementara itu terus ke
arah selatan sepanjang sungai Cibanten terdapat lahan-lahan pertanian
(padi dan sayur mayur) untuk pasokan istana.
8. Tasikardi
Tasikardi,
terletak ± 2 km di sebelah tenggara keraton Surosowan, adalah suatu
danau buatan/situ (luasnya ± 5 ha) yang di tengah-tengahnya terdapat
sebuah pulau kecil. Semula pulau buatan ini dibangun khusus untuk ibunda
Sultan Maulana Yusuf dalam bertafakkur mendekatkan diri kepada Allah.
Selanjutnya, pulau buatan yang terdapat di tengah danau buatan itu
digunakan sebagai tempat rekreasi bagi bangsawan kesultanan.
Pada
tahun 1706 Sultan Banten menerima seorang tamu Belanda Cornelis de
Bruin di Tasikardi dan ketika Daendells membuat jalan dari Merak ke
Karangantu, danau kecil ini tidak diganggu. Situ ini berfungsi untuk
penampung air dari sungai Cinbanten, yang kemudian di-salurkan ke
sawah-sawah dan sebagian untuk kepentingan air minum rakyat serta untuk
kebutuhan keluarga sultan di keraton Surosowan ─ dengan teknik
penyaluran air khas buatan Lucasz Cardeel ─ melalui pengindelan (filter station) abang, kuning dan mas, air Tasik Ardi langsung masuk ke lingkungan keraton dengan teknik penyaringan yang sudah kompleks.
9. Jembatan Rante
Jembatan
Rante didirikan di atas air sungai/kanak Kota Lama Banten yang terletak
300 meter di sebelah utara benteng Surosowan, berfungsi sebagai
“tol-perpajakan” bagi setiap kapal kecil atau perahu pengangkut barang
dagangan pedagang asing yang memasuki kota kerajaan. Dari data
pictorial, jelas telah tergambar sesaat Cornelis de Houtman melukis kota
Banten pada tahun 1596. Bahkan tertulis pada Babad Banten, bahwa
Maulana Yusuf, tahun 1570, telah banyak membangun fasilitas kota dengan
segala macam kebutuhan untuk politik perdagangan.
Jembatan
Rante dibangun dari bata dan karang serta diduga memakai tiang besi dan
papan untuk fungsi penyeberangan serta memakai “kerekan rantai” sebagai
fungsi ganda bilamana lalu-lalang kapal kecil, jembatan bisa dibuka;
dan bila tidak ada kapal masuk, jembatan ditutup berfungsi sebagai
penyeberangan orang dan kendaraan darat.
Sebagai
data visual yang masih berfungsi hingga sekarang kita dapat melihat dan
meneliti Jembatan Rante yang ada di Pasar Ikan, Jakarta.
10. Mesjid Koja
Mesjid
yang tinggal reruntuhan ini terletak di selatan jalan yang
menghubungkan Speelwijk dengan Karangantu, dimana beberapa meter dari
mesjid tersebut di sebelah selatannya kini terdapat jalan kereta api.
Disebut Mesjid Koja karena dahulunya termasuk kompleks perkampungan
orang-orang Koja, Persia. Menurut catatan orang Belanda, tempat tersebut
pernah dihuni orang-orang yang datang dari India, Jepang, Cina dan
lain-lain sebagai pedagang.
11. Mesjid Agung Kenari
Mesjid
ini terletak di kampung Kenari ± 3 km ke arah selatan dari Mesjid Agung
Banten. Mesjid ini adalah mesjid tua pening-galan Sultan Abul Mufachir
Muchmud Abdul Kadir (1596 – 1651). Sultan pertama yang mendapat gelar
“sultan” dari Mekah. Ia adalah putra Maulana Muhammad Pangeran ing
Banten. Selain itu di tempat ini terdapat pula makam putranya, Sultan
Abul Ma’ali Ahmad.
12. Benteng Speelwijk
Benteng
Speelwijk terletak di tepi pantai ─ sebelum ada pendangkalan lautan di
daerah ini ─ di kampung Pamarican tidak jauh dari Pabean. Lengkapnya
bernama Fort Speelwijk, sebagai penghormatan kepada Cornelis Jansz
Speelman, Gubernur Jendral VOC pada tahun 1681 – 1684. Benteng ini
didirikan untuk kepentingan kompeni Belanda yang dibangun pada tahun
1685 – 1686 oleh Hendrik Lucasz Cardeel.
Walaupun
belum diketahui pasti, apakah benteng ini berasal dari benteng
Portugis, namun Graaft menyatakan bahwa benteng tersebut adalah sebagai
bangunan lanjutan dari tembok dinding kota yang dibangun sepanjang
pantai yang disebut Tembok Banten Tua.
Jika kita berdiri menghadap reruntuhan benteng dari tepi sungai menghadap ke timur, akan tampak bastion
Speelwijk yang terletak di sebelah kiri. Di situ terdapat sebuah tangga
terbuat dari batu dan sebuah menara pengintai. Tembok yang melintang
Platform Bastion adalah bekas tembok tertua dari kota Banten, langsung
menjulur ke sepanjang pantai dimana terdapat sebuah Bolwerk (kubu
pertahanan). Di sebelah atas tembok benteng terdapat jendela penembak
yang dulunya tersimpan meriam di setiap jendela tersebut.
Di
bawah bastion Speelwijk terdapat ruangan tempat bubuk peledak dan tutup
jalan masuknya melalui pintu gerbang di bagian tenggara. Ada sebuah
lorong di bagian bawah yang menuju ke tempat bubuk peledak juga terdapat
sebuah kamar sebagai tempat penyimpanan senjata. Lorong yang menyudut
90 derajat itu kini masih dalam keadaan utuh dan bersih.
Ruangan-ruangan,
yang sekarang tinggal sisa pondasi, di belakang pintu gerbang dalam
lingkungan puing bekas Speelwijk, adalah merupakan bangunan yang berada
di bawah satu atap. Dahulu ada sebuah jembatan gantung yang
menghubungkan kedua pintu gerbang dan rumah komandan, kamar senjata,
kantor administrasi dan gereja.
Dengan
berdirinya bangunan Fort Speelwijk tersebut, Belanda nampak
memperlihatkan kekuasaannya di bagian kota Banten. Dan ini juga
merupakan permulaan sejarah monopoli perdagangan kompeni Belanda. Dalam
pemerintahan Gubernur Jendral Daendels keadaan menjadi berubah, dengan
memburuknya situasi. Orang-orang Belanda mulai meninggalkan Fort
Speelwijk pada tahun 1810.
Beberapa
ratus meter dari Speelwijk ke arah timur, terdapat beberapa kuburan
orang-orang Eropa. Pada tahun 1911 atas instruksi Gubernur Jendral
A.W.F. Iden Borg reruntuhan Speelwijk dan kuburan tersebut di pugar.
Sebuah
kuburan yang bagus, besar dan menarik perhatian orang adalah kuburan
Komandan Hugo Pieter Faure (1717 – 1763), yang dihiasi oleh lambang
keluarganya. Selanjutnya terdapat nama-nama: Jacob Wits, seorang pegawai
fiscal/pajak dan pembelian (wafat 9 Maret 1769); Catharina Maria van
Doorn, istri Jan van Doorn seorang letnan (30 April 1747 – 8 Desember
1769); Maria Susana Acher, istri Thomas Schipers, pegawai bagian pajak
dan pembelian (wafat 6 Juli 1743).
13. Kelenteng Cina
Kelenteng
ini terletak di sebelah barat Benteng Speelwijk. Semula kelenteng ini
terletak di Pecinan, dibangun oleh masyarakat Cina yang ada di Banten.
Kapan bangunan ini dibuat tidak dapat diketahui dengan pasti, tapi
menurut tradisi, kelenteng ini dibangun pada masa awal kerajaan Banten.
Menurut
catatan Cortemunde (1659), kelenteng Cina (yang sekarang ini) menempati
lahan loji Inggris, sementara itu, kelenteng lama sesuai dengan catatan
Valentijn (1725) berlokasi di sebelah selatan menara lama (Mesjid
Pacinan Tinggi).
14. Keraton Kaibon
Kearaton
Kaibon adalah nama sebuah keraton yang terletak di kampung Kroya,
sebelah selatan sungai Cibanten, sebelum melewati sebuah jembatan jalan
menuju ke kota Banten. Keraton Kaibon (Ka-ibu-an = tempat ibu)
adalah bekas kediaman Sultan Syaifudin, salah seorang sultan yang
pernah memerintah di Kesultanan Banten pada tahun 1809. Sultan ini
meninggal pada tahun 1915. Secara resmi keraton ini masih dipakai sampai
dengan masa pemerintahan bupati Banten pertama yang mendapat restu
Belanda, yakni Aria Adi Santika sebagai ganti pemerintahan kesultanan
yang dihapuskan mulai tahun 1816.
Bentuk arsitektuk kraton Kaibon, jika dibandingkan dengan keraton Surosowan justru Kaibon nampaknya lebih archais.
Hal ini dapat kita lihat dari bentuk arsitektur pintu-pintu gerbang dan
tembok keraton. Jika diurut dari bagian depan, keraton ini mempunyai
empat buah pintu gerbang yang berbentukbentar.
Pintu gerbang utama yang merupakan jalan masuk menuju bagian dalam
keraton terletak di tengah-tengah dinding tembok halaman depan, juga
berbentuk bentar.
Dalam
konsepsi kuno tentang bangunan-bangunan sakral dan sekuler pada
arsitektur Jawa, kita melihat adanya fungsi-fungsi arsitektur tertentu
yang memberikan indikasi ciri-ciri sebuah bangunan keagamaan atau
bangunan sekuler. Dilihat dari bentuk pintu gerbangnya maka Kaibon
menunjukkan ciri-ciri sebuah keraton dengan gaya tradisional.
Hal ini dapat dilihat dari susunan pintu gerbang dan halamannya. Pintu gerbang pertama yang merupakan jalan masuk berbentuk bentar, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui masih bersifat profan. Pada halaman kedua, jalan masuk ditandai dengan pintu gerbang berbentuk paduraksa. Bentuk paduraksa ini, dalam tradisi bangunan kuno, menunjukkan bahwa halaman yang akan dilalui telah mempunyai nilai sakral.
Pada umumnya, letak sitinggil
pada kraton tradisional di Jawa seperti keraton Kasepuhan, Kanoman,
Demak, Panjang, Mataram terletak di halaman pertama bagian timur. Di
Kaibon terlihat tata-letak yang berbeda. Justru bangunan yang seharusnya
untuk sitinggil,
di sini yang ada adalah bangunan sebuah masjid. Dengan demikian
bangunan masjid pada keraton Kaibon diletakkan pada bagian utama
keletakan keraton.
Masjid Kaibon ini berbentuk persegi panjang dengan sebuah mihrab
yang terletak pada dinding barat masjid tersebut berbentuk sebuah ceruk
persegi panjang. Pada halaman kedua ini pun terdapat beberapa bangunan
yang telah hancur dan yang sebagian hanya tersisa pondasi-pondasinya
saja. Biasanya, dalam tradisi bangunan di Jawa, di halaman kedua setelah
paduraksa
terdapat bangunan tempat tinggal sultan beserta kerabatnya; demikian
juga bangunan-bangunan seperti bangsal, srimanganti, dan sebagainya. Di
beberapa bangunan ini, terlihat pada beberapa sudut dinding adanya
lubang bekas penempatan balok-balok kayu. Hal ini mungkin merupakan sisa
lantai bangunan yang terbuat dari papan kayu dari struktur bangunan
yang lebih mutakhir.
Di
pintu gerbang sebelah barat menuju ke masjid keraton terdapat sebuah
tembok besar yang terpayungi oleh pohon-pohon beringin yang tinggi. Pada
tembok tersebut terdapat lima buah pintu yang dibuat dalam gaya Jawa
atau Bali. Ukuran tembok itu panjang 80 meter dan tingginya 2 meter.
Di sisi timur, dekat aliran sungai, masih ada lagi sebuah pintu masuk ke dalemdengan
bentuk yang sama, pintunya berbentuk seperti busur panah, juga hal ini
mengingatkan kita pada bentuk bangunan Eropa. Di dekat pintu sebelah
timur terdapat puing-puing bekas bangunan rumah-rumah yang dibangun pada
permulaan abad XVI (?). Di muka keraton Kaibon, dekat jalan raya,
terdapat puing-puing dari sebuah pintu terbuat dari batu yang mana pintu
tersebut berhubungan dengan keraton Kaibon dan dinamai Pintu Gapura.
15. Makam-makam Kerabat Sultan
1) Makam Pangeran Mandalika
Makam ini terletak di seberang kampung Kroya; Pangeran Mandalika adalah putra Sultan Hasanuddin, dari ibu yang bukan permaisuri.
2) Makam Pangeran Mas
Terletak
di kampung Pangkalan Nangka. Dia adalah seorang Pangeran dari Demak.
Meninggal dan dimakamkan di Banten. Pintu gerbang menuju makam tersebut
bergaya Holland Kuno. Di depan pintu gerbang terdapat makam Singajaya.
3) Makam Maulana Yusuf
Terletak
di sebelah timur jalan melewati rel kereta api tidak jauh dari kampung
Kesunyatan, tepatnya di tengah sawah, yang dikenal kuburan Pekalangan. Sehingga setelah meninggalnya ia disebut Penembahan Pekalangan Gede.
4) Makam Pangeran Astapati
Makam
ini terletak di kampung Odel, yang dikelilingi oleh tembok berpagar
besi. Pada pintu masuk sebelah selatan terlihat semacam bangunan ala
Eropa yang sedikit ada perpaduan dengan motif Jawa kuno. Pangeran
Astapati adalah salah seorang panglima perang Banten semasa pemerintahan
Sultan Tirtayasa. Ia keturunan para pemimpin Baduy, di Kanekes, Banten
Selatan, yang kemudian menikah dengan Ratu Dahlia, salah seorang putri
sultan. Pangeran Astapati atau dikenal juga Pangeran Wirasuta ditugaskan
untuk menggempur tentara kompeni Belanda di teluk Banten.