Selasa, 12 Juni 2012

PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998

1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia

Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :
  • Merekapitulasi perbankan
  • Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
  • Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
  • Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,-
  • Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.

2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat

Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.
Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Adanya undang – undang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan koreksi tentang suatu hal.

3. Masalah Dwifungsi ABRI

Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik.
Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.
Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.
Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali.
Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat.

5. Sidang Istimewa MPR

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.

6. Pemilihan Umum Tahun 1999

Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat.
Pelaksanaan pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik peserta pemilihan umum.
Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.

7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999

Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.
Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia. Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-2009.

PERADABAN ISLAM

HIJRAH DAN MEMBANGUN PERADABAN ISLAM    
Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.
 
Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah dimulai sejak generasi pertama dibawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madienah.
Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah Saw dan para sahabatnya yaitu adanya proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini dapat kita lihat dengan dilakukannya tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototype masyarakat Islam. Tiga langkah strategis tersebut yaitu:
Pertama :Membangun Masjid (Pertama membangun Masjid Quba’, selanjutnya membangun Masjid Nabawi Al-Syarif) di Madienah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah Saw mengoptimalkan fungsi masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (sholat, membaca Al Quran, berzikir, i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah yaitu difungsikan sebagai ma’had: pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah: tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi dan politik; tempat bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa masjid dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan yang Islami.

Kedua: Membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah takaful ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasululah Saw adalah persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan, Rasulullah Saw berhasil membangun kota Madienah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sangat lama (sekira 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar di Madienah yaitu qabilah Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosial dari masyarakat Madienah kepada Muhammad Saw saat itu, telah berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas publik;

Ketiga: Menyusun suatu perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madienah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak maupun antara kaum muslimin dengan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madienah tersebut merupakan sebuah dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut. Penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai kabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madienah dari serangan luar, telah membawa pada perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madienah. Kita dapat menyimak bahwa secara substansial, Piagam Madienah telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah; persamaan; persaudaraan; persatuan; kemerdekaan dan toleransi beragama; perdamaian; tolong-menolong dan membela terhadap para pihak yang teraniaya. Konstitusi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah Negara dan Pemerintahan, dimana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

Dengan demikian Rasulullah Saw berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus Alloh Swt langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan Nubuwah dan Risalah. Ajaran yang diterimanya dari Alloh Swt ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madienah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu merupakan kepemerintahan termodern baik dalam Undang-undang, sistem sosial dan kemasyarakatan serta dalam bentuk maupun susunannya.
Dibawah kepemimpinan dan suri tauladan agung Rasulullah Muhammad Saw, walaupun beliau bukan orang asli Madienah, akan tetapi karena secara pribadi beliau memiliki kredibilitas serta komitmen yang kuat untuk melakukan suatu perubahan dan pembaharuan, sehingga beliau berhasil melakukan sebuah transformasi struktural maupun kultural dalam membangun Madienah ke arah yang lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak; menegakkan supremasi hukum serta lebih terbuka melalui kesantunan berpolitik. Upaya sinergitas dalam membangun juga berhasil beliau lakukan, sehingga terjalinlah kebersamaan dalam mewujudkan persatuan antar stakeholder. Kita dapat melihat dalam sejarah, bahwa komitmen kuat dari Rasulullah Muhammad Saw selanjutnya mendapatkan dukungan yang kuat pula dari publik. Pondasi ketiga yang dibangun ini memperlihatkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw sangatlah peduli pada semangat membangun kebersamaan dari berbagai komponen masyarakat yang majemuk (plural) dalam membangun kota Madienah.

Demikian besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat kita simak pula dari korelasi yang kuat antara terminologi peradaban dengan akhlaq, dimana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad Saw ke muka bumi. Hal ini sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadits diantaranya Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa : “Innama bu’itstu li utami-ma makarimal akhlaq, ("Sesungguhnya aku (Muhammad Saw) diutus Alloh Swt untuk menyempurnakan akhlaq”). Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.

Peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Saw adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Alloh Swt selain manusia juga merasakan kasih-sayangnya. Hal ini sangat berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam yaitu Silmun (kedamaian).

Rahmat dan kasih sayang yang dibangun oleh Islam, sebagaimana ditegaskan Al Quran Surat Al Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.


KORELASI MAKNA : DIEN, MADIENAH DAN TAMADDUN

Kita akan menemukan tiga terminologi yang sangat mengagumkan, ketika suatu peradaban dikonstelasikan dalam bingkai sistem Islam, dimana ketiga terminologi tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga terminologi tersebut adalah Dien, Madienah dan Tamaddun.

Secara ethimologis, dien menurut Munawar Kholil merupakan mashdar dari kata kerja Dana-Yadiinu, yang berarti Cara; Adat kebiasaan; Budaya; Peraturan; Undang-undang; Ketaatan atau kepatuhan; Meng-esakan Alloh; Pembalasan; Perhitungan; Pengadilan; Hari kiamat; Hari menegakkan keadilan; Nasihat, Kecintaan; Ketaatan; Agama. Sedangkan menurut Al-Attas, dien bermakna keberhutangan; susunan kekuasaan; struktur hukum dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya, dalam istilah dien itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dien Alloh yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madienah. Dari akar kata dien dan Madienah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Peradaban yang dibangun Rasulullah Saw di Madienah dapat kita simak dari sikap visioner beliau yang memiliki pandangan jauh ke depan terhadap pembentukan peradaban Islam yakni dilakukannya perubahan nomenclature Yatsrib menjadi Madienah oleh Muhammad Saw dengan konsep pembangunan dan nilai yang jelas.

Kalau kita simak, bahwa secara ethimologis Madienah merupakan derivat dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti: (a) Kota yang dalam bahasa Yunani disebut polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy atau politic dalam Bahasa Inggeris; (b) Madienah juga merupakan derivat dari kata tamaddun dan madaniyah yang berarti civility dan civilization atau peradaban. Kata sifat dari Madienah adalah Madani, maka sivilized sociaty atau civil society dalam bahasa Arab bisa disebut Mujtama’ Madani (masyarakat berperadaban). Dengan demikian, Madienah merupakan state yang didirikan untuk membangun peradaban baru yaitu peradaban tauhid. Sejarah telah mencatat, bahwa Madienah berdiri di atas pondasi sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, dimana dua hal ini merupakan esensi penting dalam membentuk suatu peradaban yang kemudian telah dibuktikan oleh sejarah perjuangan umat Islam. Dengan demikian, tamaddun merupakan kata benda yang berasal dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban (civilization).

Dalam kontek hijrah, peradaban juga memiliki korelasi yang kuat dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Ali Shariati, perkataan hijrah bersumber dari perkataan Hajar demikian pula halnya dengan Muhajir yaitu orang yang melakukan hijrah, dimana hijrah memiliki pengertian peralihan dari hidup biadab menjadi beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Didalam bahasa ibunya sendiri, nama Hajar berarti “kota”, yang melambangkan peradaban. Pada konteks ini, kita dapat melihat sebuah korelasi sejarah yang sangat kuat antara peradaban yang pernah dibangun Nabi Ibrahim As (suami Hajar, dan Bapaknya para Nabi) serta keturunannya, baik di Makkah (Bani Isma’il) maupun di Palestina (Bani Ishak) dengan peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madienah yang kemudian memancar ke seluruh dunia.

Ketiga kota suci tersebut memiliki kaitan akar sejarah yang sangat kuat atas nilai-nilai Rabbani yang telah diusung oleh para Nabi dan Rasul mulia, dimana setiap hijrah yang pernah dilakukannya merupakan sebuah gerakan dari kejahatan menuju kebaikan dari keterbelakangan menuju sebuah peradaban.

Dengan menyimak makna dari ketiga terminologi di atas, maka kita dapat melihat sebuah rangkaian yang utuh antara input, proses, output, impact sampai benefit dimana Islam yang dipilih Alloh Swt sebagai dien merupakan input yang luar biasa agungnya bagi tatanan kehidupan hamba-Nya. Input itu kemudian mengejawantah ketika sistem Islam membumi di Madienah dibawah kepemimpinan Rasulullah Saw yang pada tahapan selanjutnya telah berhasil membuahkan (output) sebuah peradaban (tamaddun) Islam yang agung dimana dampaknya (impact) mampu menyinari negeri-negeri pada hampir semua belahan dunia, dimana para pihak yang bukan hanya kalangan muslim saja akan tetapi non muslim sekalipun dapat mengambil nilai manfaatnya (benefit) dari tegaknya sistem Islam di muka bumi ini.

Sejarah membuktikan bahwa dengan datangnya gelombang peradaban Islam benar-benar telah menjadi faktor penyebab kejatuhan berbagai peradaban yang ada pada saat itu diantaranya Romawi. Hal tersebut merupakan bukti kuat bahwa Islam sebagai dien yang menghasilkan tamaddun dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Diantara faktor penyebab utamanya adalah bahwa Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, yang ajarannya universal serta mengajarkan persamaan kedudukan (egalitarian) antar manusia, yang mana hal ini telah mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Wallohu a'lam