ILMU-ILMU BANTU SEJARAH
02
Jul
A. Apa yang dimaksud dengan ilmu bantu ?
Untuk
mempelajari sejarah dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan yang
dituntut oleh dunia ilmu bukankah pekerjaan mudah, dan sederhana
seperti menghafalkannya tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar atau
sekolah menengah. Untuk membaca sumber sejarah, apalagi yang memakai
bermacam aksara, Pallawa Jawa Kuna, Batak Kuna, jawa Tengahan, Jawa
Baru, Arab Pegon, Bali, Bugis, Cina dan lain-lain dengan bahasa yang
berbeda-beda pula memerlukan piranti serta keahlian tersendiri. Belum
lagi yang ada hubungannya dengan isi atau kandungan sumber sejarah yang
berkaitan dengan berbagai segi kehidupan seperti masalah politik,
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, agama, birokrasi,
pemerintahan, ataupun tokoh-tokoh pemegang peran. Sejarawan tidak dapat
bersitegang untuk bekerja sendirian, dan hanya berkubang dalam ilmu
sejarah semata. Sejarawan tidak dapat demikian saja mengabaikan hubungan
dan bantuan dari ilmu-ilmu lainnya yang koheren dengan pokok studi atau
pokok kajiannya. Dalam hal ini sejarawan tidak bekerja sendirian, dan
sejumlah ilmu dapat memberikan bantuan atau bahkan ada yang sepenuhnya
mengabdikan diri bagi kepentingan ilmu sejarah (seperti arkeologi),
lazim disebut dengan istilah ilmu banty sejarah (auxillary discipline).
Mengenai ilmu apa saja yang termasuk sebagai ilmu bantu sejarah, di antara para ahli terdapat perbedaan pandangan.
LOUIS GOTTSCHALK
dalam mengerti sejarah terjemahan Nugroho Notosusanto (1981),
menyebutkan filologi, epigrafi, palaeografi, hiraldik genealogi,
brafiografi, dan kronologi sebagai ilmu bantu sejarah.
SIDI GAZALBA dalam
pengantar Sejarah Sebagai Ilmu menyatakan bahwa ilmu purbakala, ilmu
piagam, filologi, palaeografi, kronologi, senumismatik, dan genealogi
menjadi ilmu bantu sejarah. Gazalba selanjutnya menambahkan bahwa ilmu
sosial seperti etnografi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya juga dapat
membantu sejarawan dalam tugasnya menyusun sejarah.
GILBERT J. GARRAGHAN, S.J.
dalam A Guide to Historical Method berpendapat bahwa auxallary sciences
(ilmu bantu sejarah) terdori dari : filsafat, biliografi, antropologi,
linguistik, arkeologi, epigrafi, numismatik, dan genealogi.
HERU SOEKRADI K.
Dalam dasar-dasar Metodologi Sejarah menempatkan filologi, arkeologi,
numismatik, kronologi, epigrafi, dan genealogi sebagai “ilmu bantu
sejarah”, atau ancillary diciplin. Ilmu-ilmu itu menurut Heru Soekradi
sepenuhnya mengabdikan diri untuk sejarah. Adapun yang termasuk sebagai
ilmu ilmu bantu sejarah ialah ilmu-ilmu sosial (auxillary disciplin)
Menurut
hemat penulis semua ilmu-ilmu yang dikemukakan oleh para ahli di atas
tidak secara total menyediakan dirinya sebagai kepentingan ilmu sejarah,
melainkan dalam batas-batas tertentu yang ada kaitannya dengan
permasalahan sejarah, khususnya permasalahan sejarah yang telah
dipersoalkan atau aktual dihadapi. Arkeologi bagian tidak terpisahkan
dari sejarah kebudayaan. Sehubungan dengan hal di atas sebenarnya
tidaklah relevan untuk membrikan batas secara hitam putih atau tegas
terhadap mana yang dianggap sebagai ilmu dasar sebagian lagi sebagai
ilmu bantu sejarah.
Yang
perlu mendapat perhatian adalah penguasaan dalam batas-batas tertentu
terhadap konsep-konsep ilmu-ilmu bantu akan memberikan prespektik atau
sudut pandang (visi) tertentu dari sejarawan terhadap pokok studi yang
dihadapi. Yang dimaksud dalam konteks ini ialah derajad subyektivitas
atau pandangan sejarawan akan ikut terpengaruhi oleh penguasaan di atas,
subyektivitas itu berdasarkan dimensi tertentu dari ilmu bantu yang
digunakan untuk memandang, mendekati pokok studi atau kajian. Pandangan
seorang ahli ekonomi mungkin berbeda dengan pandangan mereka yang ahli
sosiologi terhadap perang Diponegoro. Berbeda pila mereka yang ahli
agama. Subyektivitas yang dihasilkan dikarenakan mereka melihat
peristiwa sejarah sebagai fenomena sosial dari sudut keahlian yang
berbeda. Subyektivtas yang demikian dalam studi sejarah analitis
nampaknya sulit untuk dihindarkan. Subyektivitas yang disebabakan oleh
faktor-faktor dimensional disebut subyektivitas dimensional. Bila
ditinjau sejarawan menggunakan tinjauan atau pendekatan bersifat multi
dimensi dengan sendirinya langkah ini akan mengurangi bahkan dapat
menghapus subyektivitas dimensional, yang memandang suatu peristiwa
hanya dari dimensi ilmu tertentu. Obyektivitas hasil tinjauan multi
dimensi suadah barang tentu memiliki derajad lebih tinggi dibandingkan
dengan obyektivitas yang dicapai dengan cara-cara terdahulu.
B. Arkeologi atau Ilmu Purbakala
Peninggalan
purbakala atau peninggalan arkeologi merupakan warisan sejarah dalam
bentuk visual. Warisan meliputi peninggalan dari zaman prasejarah
(nirleka) dan zaman sejarah, yang terdapat baik di atas permukaan tanah
maupun terpendam di dalamnya. Benda-benda itu dikeluarkan lewat
penggalian (excavasi).
Peninggalan
dari periode pra sejarah yang terpenting diantaranya ialah,
kapak-kapak, pra sejarah dalam berbagai perkembangannya dari chopper,
peble, persegi, dan lonjong dapat memberikan pentunjuk tingkat kehidupan
masyarakat dan perekonomiannya pada masa-masa paleolotikum (zaman batu
tua), mesolitikum (zaman batu tengah), dan neolitikum (zaman batu muda).
Berdasarkan
peninggalan seperti menhir, dolmen, sarcofagus, batu kubur, pundek
berundak-undak, dapat pula diperkirakan bagaimana tingkatan kehidupan
kerohanian dan kepercayannya. Dari zaman sejarah (Indonesia) peninggalan
purbakala itu diantaranya meliputu peninggalan bersifat keagamaan
seperti candi, stupa, patung, wihara, patirtan, gua-gua, pura, masjid,
serta makam-makam. Peninggalan berupa alat-alat kehidupan sehari-hari
seperti mata uang kuna, cermin, lampu (blencong), senjata, pintu-pintu
gerbang, situs istana, sumur dan lain-lain. Dalam hal ini candi perlu
mendapat perhatian khusus.
Peninggalan
purbakala dalam bentuk candi merekam banyak data-data sejarah pada
zamannya. Yang jelas ialah sebuh candi memberikan petunjuk tentang agama
yang dikaitkan dengan pendiriannya, atau jenis agama tertentu yang
dianut oleh dinasti aatu masyarakat pada periode tertentu. Candi yang
melukiskan perkembangan bentuk arsitektur. Khusunya arsitektur bangunan
suci dari zaman ke zaman. Relief candi dalam batas tertentu dapat
dikatakan sebagai potret kehidupan sosial budaya pada zamannya. Potret
kehidupan sosial budaya yang melingkungi saat pendiriannya. Misalkan
saja pada relief pada candi Jago telah terlukis bagaimana tingkah laku
wanita tatkala melihat pria yang sangat tampan : Arjuna. Jenis kesenian
tertentu seperti tari gambyong (tayub) tampaknya telah ada pada masa
pendirian candi Borobudur. Tari kuda lumping terlukis pada suatu bidang
pada candi Prambanan. Bentuk kehidupan sosial lainnya seperti pasar yang
terlukis pada candi Panataran tidak jauh dari gsmbaran pasar-pasar
tradisional yang masih tersisa saat ini. Pada relief yang terlukis pada
candi Sukun ternyata teknologi pandai besi (Jawa, besalen) yang tidak
jauh berbeda denngan besalen pada masa kini yang menghadapi kepunahan.
Dari relief yang tertera pada patirtan de belakang komplek candi
Panataran dan patung dwarapala pada candi induk jelaslah bahwa fabel,
seperti cerita serial kancil telah hidup dan dikenal luas di kalangan
masyarakat pada masa itu. Tidak mustahil cerita yang sangat termasyhur
di kalangan rakyat itu mempunyai fungsi edukatif. Demikian pila dengan
bangunan joglo atau cungkup yang kemudian lazim digunakan pada
komplek-komplek makam Islam telah terlukis pada relief candi Tigawangi
dari masa kerajaan Majapahit. Tidak jarang terdapat hubungan erat antara
epigrafi dan arkeologi. Hal ini terbukti dengan berbagai prasasti atau
sumber tertulis tertentu seperti Pararaton Negarakertagama memberikan
petunjuk atau bahkan berhubungan dengan pendiriannya. Cotoh lain
misalnya : prasasti Canggal (732) dengan candi Gunung Wukir, prasasti
Dinaya (760) dengan candi Bandut, prasasti Kalasan (778) dengan candi
Kalasan, prasasti Karangtengah (842) dengan candi Borobudur. Dalam teks
Pararaton juga disebut candi-candi di Jajago (Tumpang), candi Kidal.
Candi Singosari, candi Jawi, candi Rimbi dan lain-lain.
Dari
sudut perkembangan kebudayaan percandian Jawa Tengah mencermeninkan
gaya bangunan tatkala pengaruh kebudayaan dan agama Hindu sedemikian
kuat dalam periode sejarah Indonesia. Di pihak lain bangunan percandian
di Jawa Timur memberikan petunjuk makin menonjolnya unsur kebudayaan
Indonesia asli (Javanisasi), sementara kebudayaan dan agama Hindu makin
merosot. Tudak jarang relief suatu candi atau peninggalan purbakala juga
melukiskan lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan fauna, lingkungan
alam seperti pohon pandan, siwalan (pada komplek Sendang Suwur), dan
relief gunung atau perbukitan terlukis hampir disemua obyek
kepurbakalaan Islam di pantai utara Jawa. Peninggalan purbakala sangat
penting artinya bagi rekronstruksi sejarah kebudayaan, di samping juga
untuk mengisi celah-celah yang tidak terekam oleh sumber-sumber
tertulis.
C. Epigrafi
Epigrafi
berasal dari kata up (di atas), graphien (menulis,tulisan). Epigrafi
adalah ilmu yang menyelidiki sejarah berdasarkan bahan-bahan tertulis,
yaitu tilisan kuno. Karena itu ada yang menyamakan epigrafi dengan
paleografi (ilmu tentang tulisan kuno). Tidak mengherankan bila epigrafi
sering dihubungkan dengan tulisan-tulisan pada prasasti. Memnag
penelitian terhadap prasasti sangat penting bagi studi sejarah Indonesia
kuno, sejak zamannya Krom himgga sekarang tidak kurang dari 50% sebagai
hasil rekonstruksi sejarah Indonesia kuna berdasarkan penelitian
prasasti. Namun juga tidak semua prasasti dapat dimanfaatkan untuk
keperluan itu.
Dibalik
itu juga perlu diketahui bahwa betapapun urgensinya prasasti sebagai
sejarah, tidak berarti prasasti merekam semua peristiwa pada zamannya.
Prasasti hanya merekam beberapa aspek tertentu seperti soal-soal
polotik, sosial, dan agama. Kehidupan masyarakat pada umunya seperti
ekonomi, seni, budaya, dan lain-lain jarang atau sedikit sekali
disinggung dalam prasasti. Karena bila ingin mengetahui gambaran sejarah
secara menyeluruh masih diperlukan sumber lain seperti karya-karya
sastra, peninggalan purbakala, berita-berita asing dan lain-lain. Pitono
dalam hal ini menyarankan agar dapat mencapai pengetahuan sejarah yang
bulat dan obyektif metode yang terbaik dalam metode komparatif. Sejarah
lainnya Sarono Kartodirdjo, pelopor sejarawan sosial Indonesia
menyarankan agar sejarawan dalam berusaha memperoleh pemahaman sejarah
secara utuh menerapkan pendekatan yang dinamakannya pendekatan multi
dimensional (multi dimention approach), atau social scientific approach.
Yang dimaksud ini adalah untuk mencapai kebenaran sejarah yang
obyektif, serta menyeluruh sejarawan harus mengalnalisanya dengan
berbagai pendekatan ilmu sosial atau dimensi ilmu sosial secara terkait.
Tujuan
utama epigrafi adalah pembacaan tulisan kuna tanpa kesalahan. Hai ini
sangat ditekankan karena tulisan-tulisan kuna itu memang sukar dibaca
oleh nernagai sebab. Sebab-sebab itu antara lain : (1) huruf-hurufnya
rusak karena bahan prasastinya aus akibat usia ataupun karena
tangan-tngan usil, (2) tiap-tiap periode bentuk hurufnya mengalami
perkembangan, (3) huruf itu sendiri memang sudah tidak terpakai lagi.
Lain pada itu epigrafi juga bertugas menentukan usia , asal tulisan,
serta menentukan kesalahn-kesalahan yang menyelinap dalam teks kemudian
membersihkannya. Belum lagi bila prasasti itu sebagai prasasti turunan
(tinulad) yang tidak jarang menimbulkan kesulitan karena penyalinannya
tidak cermat baik dalam aksara maupun dalam bahasa. Ilmuwan yang pertama
kali mengangkat epigrafi sebagai ilmu bantu sejarah ialah Ludwing
Troube. Di Eropa tulisan epigrafi memusatkan perhatiannya pada naskah
atau teks-teks manuskrip Yunani dan pagam-piagam dari zaman pertengahan.
Berdasarkan
bahannya prasasti ada yang dibuat dari batu (lingo prasasti,
lingopala), tembaga (tamra), dan emas atau perak (swarna). Berdasarkan
aksara yang dipakai atau prasasti yang ditulis dengan abjad Pallawa,
sebagai prasasti yang tertua di Indonesia (pasasti Yupa dan Kutai) abjad
Jawa Kuno (prasasti Dinaya), abjad Pra Nagari (prasasti Kalasan dan
Kelurak). Huruf-huruf Pallawa, jawa kuno, jawa tengahan (madia), dan
jawa baru merupakan perkemnagan huruf atau abjad Brahmi.
Ditinjau
dari segi bahasanya terdapat prasasti yang memakai bahasa (1) Sankrit
yaitu prasasti Kutai, (2) bahasa Melayu kuno (Sriwijaya), (3) bahasa
Jawa kuna (prasasti zaman Jawa Tengahan dan Jawa Timur, (4) Bali kuna
(prasasti di Bali s/d 1010 AD). Sejak itu sebagian prasasti di Bali
ditulis dengan bahasa Jawa kuna, (5) Sunda kuna (prasasti raja Sri
Jayabhupati Ik. 1030 dan prasasti Batutulis dari Sri Baduga Maharaja,
Pajajaran).
Hasil epigrafi apa yang diperoleh dari pembacaan prasasti ??
Antara
lain : (1) nama dan gelar raja, (2) nama dan gelar pejabat birokrasi,
(3) nama dewa dan pendeta, (4) upacara ritual, (5) kronologi, (6) jenis
hadiah/pemberian raja, (7) kutukan bagi para pelanggar.
Bagi
epigrafis atau prasasti di anggap penting karena : (1) berfungsi
sebagai maklumat resmi, (2) sebagai dokumen negara, (3) sebagai
pengabdian suatu peristiwa penting, (4) dianggap sakral dan berkekuatan
magis, (5) bukti sejarah di berbagai bidang dari para raj zaman dahulu,
dan (7) sifatnya yang tahan lama karena dibuat dari bahan yang tidak
mudah rusak.
Apakah
prasasti merupakan sumber sejarah tanpa cacat?? Ternyata tidak.
Betapapun otentiknya prasasti-prasasti tetap mamiliki kelemahan sebagai
berikut. (1) Hanya memberitakan peristiwa resmi. (2) Pembuatannya sering
mempunyai tendensi tertentu yaitu pemujaan terhadap raja (king worship :
verheerlijking van de vorst). (3) Karena adanya unsur king worship
tidak jarang prasasti kurang obyektif atau bersifat sepihak.
Prasasti
terakhir dari sejarah Indonesia kuna ( di Jawa) ialah prasasti Jiu
(1486). Demikian pila abjad Jawa kuna kemudian berkembang menjadi abjad
Jawa tengahan, dan Jawa baru. Prasasti yang mengabdikan momentum
perkembangan bahasa Jawa kuna ke bahasa Jawa tengahan (madia) ialah
prasasti Biluluk Bertarikh 1366 M. Mulai saat itu bahasa Jawa madia
terus berkembang terutama melalui sastra kidung dan macapat. Salah satu
karya dari periode akhir abad XIV yang telah menggunakan bahasa Jawa
madia ialah Serat Nawaruci. Obyek epigrafi pasca Majapahit ialah naskah
teks yang tertulis dalam abjad dan bahasa Jawa tengahan. Misalnya naskah
yang oleh B. Schrieke disebut sebagai Het Boek van Bonang, yang oleh
G.W.J. Drewes diberi nama The Adminition of Sheh Bari. Beberapa
inskripsi berabjad Arab juga menjadi obyek epigrafi Indonesia seperti
inskripsi pada makam raja Malik al-Saleh (Samodra Pasai), Malik Ibrahim,
dan inskripsi Fatimah Binti Maemun (di Gresik) Jawa Timur.
Berdasarkan
perkembangan abjad dan bahasa Jawa kuna ke abjad dan bahasa Jawa
tengahan masuk dan berkembang pula unsur kebudayaan Islam. Antara lain
masuknya abjad dan bahas Arab. Karya-karya historiografi tradisional di
luar Jawa seperti Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat
Banjar, Hikayat Raja-Raja Kutai semuanya ditulis dengan aksara Arab yang
khusus, yaitu Arab Pegon tetapi berbahasa Melayu. Naskah terkhir itu
disamping menjadi obyek.
D. Filologi
Filologi
berasal dari kata Yunani philologia yang berarti kegemaran
berbincang-bincang. Perbincangan atau percakapan sebagai seni memperoleh
perhatian khusus dari bangsa Yunani. Makna itu kemudian berubah menjadi
kata “cinta kepada kata” sebagai pengejahwatanan pikiran. Ternyata
makna itu terus bergeser ke pengertian “perhatian terhadap sastra”.
Terakhir menurut Wagenvoost makna kata itu berubah lagi menjadi “studi
terhadap sastra”.
– batasan lain tentang makna filologi sebagai berikut :
1. Menurut
kamus, istilah filologi adalah ilmu yang menyelidiki kerokhanian suatu
bangsa dengan kekhususannya atau menyelidiki kebudayaan berdasar bahasa
dan kesustraannya.
2. Menurut
Woordenboek der Nederlandse Taal, filologi adalah berhubungan dengan
bahasa dan sastra Yunani dan Romawi, kemudian meluas kepada bahasa dan
sastra bangsa lainnya.
3. Menurut
Webster New International Dictionary, filologi selain memiliki
pengertian seperti telah dikemukakan, kemudian diperluas sebagai
pengertian ilmu bahasa serta studi tentang kebudayaan bangsa yang
beradab seperti terungkap dalam bahasa, sastra, dan agama mereka.
Sulastin
Sutrisno dalam pidato pengukuhannya pada jabatan Guru Besar Ilmu
Filologi di UGM Yogyakarta menandaskan, melalui studi bahasa dalam
teks-teks, filologi bertujuan untuk mengenal teks-teks, filologi
bertujuan untuk mengenal teks-teks secara sempurna kemudian
menempatkannya dalam konteks sejarah kebudayaan suatu bangsa. Apabila
tidak, kemungkinan penelitian kesimpulan tentang teks baik secara
keseluruhan, bagian pokok, atau sampingannya akan jauh memyimpang.
Pentingnya
sastra bagi sarana penelitian filologi, karena sastra bukan hanya milik
bersama masyarakat, bukan hanya diturunkan lewat generasik, namun
sastra juga berfungsi sebagai media ekspresi ide-ide untuk jangka waktu
yang lama, pembentuk norma bagi generasi sezaman maupun penerus. Sastra
menampilkan gambaran kehidupan yang mencakup hubungan antara masyarakat
dengan orang-orang dan peristiwa yang terjadi dalam batin manusia.
Kegiatan
filologi dimulai dari Eropa pada era renaisans dan humanisme. Pada era
itu orang menggali kembali sastra klasik Yunani Romawi. Kegiatan yang
semula bertujuan melakukan kritik teks untuk mengetahui kemurnian Firman
Tuhan serta memahami kekeramatannya ternyata menumbuhkan kegiatan
kritik teks untuk keperluan rekonstruksi naskah yang telah rusak.
Filologi menelitinya lewat bahasa dan makna yang terkandung didalamnya,
kemudian memperbaikinya. Kegiatan itu sebenarnya telah berkembang sejak
abad III BC di perpustakaan dan museum Iskandaria, Mesir. Di waktu
berikunya teks-teks yang telah dibetulkan kemudian disalin oleh para
penyalin yang seringkali pekerjaannya tidak profesional, hingga
menimbulkan kesalahan-kesalahan. Kesalahan – kesalahan itu dapat berupa
kata-kata, kalimat, atau bagian-bagiannya. Ataupun ada halaman yang
terlampaui dan tertukar dalam proses penyalinan.
Dengan
ditemukannya teknologi cetak pada abad XV mutu perbaikan teks menjadi
lebih baik, di samping kemungkinan musnahnya suatu naskah makin kecil.
Dengan jalan demikian terjaminlah kelangsungan hidup teks-teks itu turun
temurun. Lewat teks-teks klasik itu para ahli filologi berhasil
menggali nilai-nilai hidup yang terkandung dalam kebudayaan lama.
Indonesia
sebenarnya merupakan khasanah raksasa bagi studi filologi, karena
naskahp-naskah kunonya kebanyakan ditulis dan dibaca dengan huruf
daerah. Isinya beraneka ragam mulai sastra, dalam arti terbatas sampai
masalah agama, sosial dan sejarah. Yang sangat penting bagi study
sejarah ialah bahan mengenai bahasa daerah, yang secara keseluruhan
dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang kebudayaan Indonesia.
Naskah-naskah
bahasa Melayu dan Jawa ditulis pada bahan kertas. Naskah berbahasa Jawa
kuna aslinya ditulis di atas lontar. Di Jawa naskah lontar dapat
dikatakan telah tidak ada orang yang menyimpan, tetapi di Bali dan
Lombok masih banyak. Naskah Batak biasanya memakai kulit kayu atau
rotan. Kecuali di Indonesia, sekitar 26 negara lain menyimpan
naskah-naskah lama dari Indonesia seperti : Malaysia, Singapura, Brunai,
Sri Lanka, Thailand, Mesir, Amerika Serikat, Irlandia, Spanyol,
Italia, Jerman Barat, Jerman timur, Hongaria, Belgia, dan Rusia.
Kegiatan
Filologi di tanah air kita baru mulai abad XIX, dirintis oleh
sarjana-sarjana Eropa tertutama Belanda. Diantara mereka itu : Geriche,
Cohenstuart, J.L.A. Brandes untuk bahasa Jawa kuna, Klinkert untuk
bahasa Melayu, Van Ronkel, Von Dewell, Van Hovell untuk syair-syair.
Dari Inggris Thomas S. Raffles dan Crawfurd untuk penelitian bahasa dan
naskah Melayu, Th. Pigeaud untuk bahasa Jawa kuna dan Tengahan,
naskah-naskah Islam oleh Dewes dan B. Schrieke. Dari pihak sarjana
Indonesia perintisnya antara lain Hoesein Djajaningrat, Poebatjaraka,
Prijohutomo, Tjan Tjoe Som yang kesemuanya telah almarhum
E. Genealogi
Genealogi
berasal dari kata dasar gene, yaitu plasma pembawa sifat-sifat
keturunan. Genealogi berarti ilmu yang mempelajari masalah keturunan. Ia
berarti juga saling bergantung dua hal, yaitu yang muda berasal dari
yang tua. Misalnya tulisan Jawa berasal dari perkembangan (baca :
keturunan) abjad Pallawa. Tulisan Pallawa berasal dari tulisan atau
abjad Brahmi, dan lain-lain. Namun dalam konteks ini yang dimaksud
genealogi ialah yang menyangkut hubungan keturunan individu.
Peletak
dasar genealogi sebagai ilmu ialah J.Ch. Gatterr (1727-1799), kemudian
Q. Lorerirensa menerapkan dalam penulisan ilmiah (1898). Dalam kenyataan
sejarah genealogi sangat penting semenjak menusia memasuki zaman
sejarah, khususnya menyangkut masalah tahta. Perhatikan misalnya prasati
Yupa dari Muarakaman di Kutai. Prsasati itu dengan jelas memberitakan
genealogi Mulawarman dengan leluhurnya : Kudungga. Prasati Canggal
(732M) melukiskan genealogi Sanjaya dan leluhurnya. Prasati Gunung
(910M) telah memberikan gambaran mata rantai genealogi Sanjaya sampai
dengan Daksa. Demikian pula dalam Negarakertagama dan Pararaton
diberitakan pula genealogi raja-raja yang memerintah Singasari dan
Majapahit. Mengapa Genealogi menjadi demikian penting dalam studi
sejarah kuna (juga di Indonesia), khususnya bagi kelangsungan suatu
dinasti atau tahta kerajaan? Berbagai peristiwa sejarah yang besar
menggoncangkan seperti huru hara, perang saudara, pemberontakan untuk
mendirikan suatu dinasti baru, dan jatuhnya dinasti lama, salah satu
penyebabnya adalah faktor keturunan atau genealogi.
F. Kronologi
Kronologi
atau ilmu hitung waktu terbagi menjadi tiga, yaitu kronologi historis,
kronologi teknis, dan kronologi matematik. Kronologi disebut juga
sebagai almanak atau tentang penanggalan, atau kalender. Apabila
kronoligi historis menunjukkan hitungan waktu (penanggalan) dalam
konteks terjadinya sejarah. Misalnya hari jadi Surabaya 31 Januari 1293,
pecahnya pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945, dan
lain-lain. Maka kronologis teknis ialah hitungan yang berkaitan dengan
sistem almanak atau kalender. Kronologis historis dinamakan pula sebagai
kronografi. Dalam studi sejarah kronologis historis merupakan tulang
punggungnya. Tiap peristiwa tidak terpisahkan dari berbagai waktu.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dapat dirintut hubungannya dalam waktu.
Sebagai contoh, pada tahun 1275 Kertanegara mengirim ekspedisi Pamalayu
ke Sumatra. Akibanya Singasari kosong. Karena itu Wiraraja memberitahu
Jayakatwang bahwa saatnya telah tiba untuk bertindak, dan pada tahun
1292 Jayakatwang dari Kediri melancarkan serangan terhadap Singasari,
dan seterusnya. Di sini dapat diruntut hubungan sebab akibat tentang
ekspedisi Pamalayu dan serangan Jayakatwang dalam bingkai waktu. Untuk
menetapkan atau mencari angka-angka tahun dalam kronologi historis
berkaitan erat dengan kronologi teknis.
Kronologi
teknis atau sistem kalender (penanggalan) membahas sistem almanak atau
penanggalan suatu bangsa. Pertama sistem kalender berdasarkan perederan
bulan. Sistem ini disbut sebagai lunar system atau
tahun qamariah (qamaria ; bulan). Sistem ini agaknya sebagai sistem
yang lebih tua. Sistem kedua yaitu berdasarkan peredaran Matahari, atau
tahun syamsiah (matahari), disebut juga sebagai solar system. Dewasa
ini kalender yang dipakai secara luas diseluruh dunia adalah kalender
Masehi, berdasarkan perhitungan peredaran matahari. Pemakaian kalender
ini sebagai akibat sangat luasnya pengaruh perdaban Eropa di dunia
Internasional.
Untuk
studi sejarah Indonesia kuna, dikenal kalender Saka, sebagai pengaruh
kebudayaan Hindu. Kalender Saka ditetapkan sebagai resmi oleh Raja
Kaniskha I, raja bangsa Saka (Scythia) dari kerajaan Kushana di India
Utara pada tahun 78 M. Jadi selisih antara kalender Masehi dengan
kalender Saka 78 tahun. Kalender Saka mendasarkan hitungannya dengan
peredaran Matahari. Dalam sejarah Indonesia kuna hampir semua prasasti
memakai kalender Saka.
G. Numismatik
Numismatik
atau ilmu mata uang, mengkaji sejarah perkembangan mata uang dari zaman
purba sampai sekarang. Mata uang tertua berasal dari peninggalan bangsa
Yunani sekitar 700 BC.Dilihat dari bahannya, mata uang
ada yang dibuat dari bahan emas, perak, tembaga, aluminium dan kertas.
Pada bangsa-bangsa yang masih primitive (masih tingkat prasejarah) tidak
jarang mereka memakai benda-benda seperti kulit kerang sebagai alat
penukar. Dewasa ini sebagian besar negara-negara di dunia, membuat mata
uangnya dari bahan kertas.
Ditinjau
dari nilai yang dikandungnya, mata uang memiliki dua nilai : intrinsik
dan nominal. Nilai intrinsik ialah nilai berdasarkan bahan yang
digunakan untuk membuat mata uang. Nilai nominal ialah nilai tukar dari
suatu satuan mata uang sebagaimana tertera padanya. Sebagai contoh pada
mata uang rupiah ada yang bernila nominal Rp.25,- Rp.100,- Rp.500,-
Rp.1000,- Rp.5000,- dan Rp.10.000,-
Bagi
kepentingan studi sejarah mata uang diantaranya memberikan data-data
tentang tokoh-tokoh pahlawan dari negara yang bersangkutan, nilai tukar,
nama pejabat yang berwenang, program tertentu dari suatu pemerintahan,
seperti : Keluarga Berencana (KB), pelestarian lingkungan, peringatan
peristiwa-peristiwa tertentu, pengaruh kebudayaan, dan lain-lain.
Dari
konteks sejarah ekonomi manfaat numismatik sangat jelas, karena nilai
suatu mata uang, dalam periode tertentu memberikan petunjuk bagaimana
keadaan perekonomian negara yang bersangkutan. Dari segi sejarah
kebudayaan, persebaran suatu mata uang juga memberikan gambaran sampai
seberapa jauh pengaruh suatu negara atau bangsa terhadap perekonomian
bangsa lain. Sebagai contoh pengaruh dalam alat pembayaran atau alat
pertukaran internasional. Persebaran itu juga memberikan petunjuk
bagaimana dan sampai sejauh mana luas pengaruh politik suatu negara
terhadap perekonomian dunia atau internasional. Berdasarkan mata uang
yang dikoleksi secara lengn kronologis dkap dapat pula dipakai sebagai
bahan untuk merekonstruksi sejarah suatu negara atau suatu dinasti.
Seperti dekemukakan, di atas mata uang memiliki bahan atau data-data
sejarah yang diperlukan.
H. Ilmu-ilmu Sosial
Semua
cabang ilmu sosial seperti politik, ekonomi, sosiologi, antropologi,
gepgrafi, psikologi dan lainnya juga merupakan ilmu bantu sejarah. Hal
itu disebabkan karena manusia sebagai mahkluk sosial dalam berbagai
aspek kehidupannya tidak terlepas dari aspek-aspek lainnya. Bahkan di
kalangan para ahli berbeda pendapat dalam menempatkan sejarah, apakah
termasuk ilmu sastra atau ilmu sosial. Oleh karena itu studi sejarah
yang komphrehensip dan meltidimensional memerlikan bantuan konsep-konsep
ilmu-ilmu sosial untuk menjelaskan suatu gejala sejarah (social
scientific approach). Berdasarkan kenyataan ini, sebagian sejarawan
menempatkan sejarah dalam kelompok ilmu sosial.