Rabu, 11 April 2012

ROMUSA DI BANSEL

Saketi Bayah Part I

A. Jalur KA Saketi – Bayah (Banten)

Dibangun : Februari 1943-Maret 1944
Operasional : 1 April 1944-1950-an
Panjang jalur : 89 km
Total pekerja : 25000-55000 pekerja harian, ditambah berkala
Death Toll : - 500 per bulan / est. 40.000-80.000 jiwa
Rute lengkap jalur KA : Saketi – Bayah – Gunung Mindur – Pulo Manuk

Jalur kereta api Saketi-Bayah yang terletak di Banten, merupakan salah satu jalur yang mendapat julukan “Death Railway”. Jalur Saketi-Bayah dibangun Jepang mempunyai tujuan untuk mengangkut batubara yang digunakan untuk bahan bakar kereta dan kapal laut dari Cikotok, dan untuk menghindari kehilangan armada kapal laut Jepang yang digunakan mengangkut batubara dari Sumatera dan Kalimantan ke Jawa, karena mulai terganggu akibat serangan torpedo kapal selam tentara sekutu. Jepang mendapat informasi tentang adanya cadangan batubara di daerah Cikotok dekat Bayah dari arsip peninggalan pemerintah Hindia-Belanda tahun 1900-an. Dalam laporan itu tertulis bahwa cadangan batubara disana mencapai 20 sampai 30 juta ton. Jepang memperkirakan bahwa produksi batu bara per tahun mungkin mencapai 300 ribu ton. Namun cadangan batu bara tersebut tersebar di lahan yang luas dan terisolasi. Lapisan batu bara itu juga tipis, hanya sekitar 80 cm, sehingga eksploitasi besar-besaran pada masa damai tidak akan ekonomis. Namun ini adalah masa perang.

Untuk itu pada Agustus 1942 pemerintah Jepang yang diwakili biro transportasi melakukan penyelidikan bersama dengan pemandu lokal dan empat orang insinyur asal Belanda. Penyelidikan itu untuk mengetahui cara dan rintangan yang akan dihadapi dalam membuat jalur penghubung Saketi-Bayah. Setelah selesai melakukan penyelidikan, rancangan jalur mulai dibuat pada bulan Juli tahun 1942. Tidak hanya rancangan jalur, beberapa hal pendukung persiapan seperti pembangunan barak, gudang, kantor, dan jalan juga berlangsung.





Peta jalur Saketi-Bayah


Di Perang Dunia kedua, Jepang memerlukan bahan bakar yang sangat besar untuk menjalankan mesin-mesin perangnya. Pada 1942, untuk keperluan kereta api saja, Jepang membutuhkan 900 ribu ton kayu bakar per tahun. Di Jawa saat itu batu bara masih harus dikirim dari Sumatera dan lainnya. Dapat dibayangkan pada saat itu, di sekitaran Bayah ramai sekali. Di pantai-pantainya, puluhan kapal Jepang sibuk mengangkut batu bara untuk dikirim ke daerah peperangan lain. Kereta api hilir mudik, bahkan Jepang perlu membuat jalur kereta khusus batu bara dari Saketi – Bayah – Gunung Mindur.


bekas stasiun Saketi
Quote:
Sekarang stasiun saketi udah jadi rumah milik 'mantan' pegawai. Kondisi stasiun saketi bagus karena dihuni, dan masih ada banyak rel-rel disana, yang sekarang diatasnya dibangun kios-kios dan lapak-lapak dari kayu yang masuk ke dalam wilayah Pasar Saketi.

bekas stasiun bayah

Quote:
Stasiun Bayah tidaklah besar. Hanya ada 3 jalur KA di emplasemen stasiun Bayah. Pulo Manuk adalah pusat penambangan Batu Bara di daerah Bayah, sehingga Jepang membangun jaringan kereta api hingga daerah Pulo Manuk untuk mempermudah pengangkutan Batu Bara. Untuk menghubungkan antara Pulo Manuk dengan Bayah dengan jaringan rel Kereta api, Jepang harus membangun sebuah jembatan KA panjang. Jembatan yang dibangun adalah jembatan berangka besi yang populer saat itu. Namun, usaha Jepang untuk membangun jaringan KA menuju tempat penambangan Batu Bara tercium oleh sekutu. Jembatan yang saat itu baru selesai dibuat langsung di Bom oleh sekutu. Sebelum selesai diperbaiki, Jepang telah lebih dulu kalah dalam perang dunia ke2. Hingga akhirnya jembatan itu tak diperbaiki lagi. Dan sampai akhirnya, entah karena alasan apa, jalur tersebut tidak dipergunakan lagi.
Jalur ini berawal di stasiun Saketi, dan berakhir di Gunungmandur, letak tambang batu bara yang terjauh. Stasiun Gunungmandur terletak dua kilometer dari stasiun Bayah. Jalur sepur tunggal ini memiliki sembilan stasiun dan lima halte (yaitu Cimangu,Kaduhauk, Jalusang, Pasung, Kerta, Gintung,
Malingping, Cilangkahan, Sukahujan, Cihara, Panyawungan, Bayah dan Gunungmandur
). Masing-masing stasiun setidaknya memiliki dua jalur dan bangunan stasiun kecil; Bayah memiliki lima jalur.

Pembangunan jalur ini dimulai pada Februari 1943, setelah pemerintahan militer Jepang resmi memerintahkan pembangunannya. Namun, dalam perjalanannya pembangunan jalur ini menghadapi beberapa kendala misalnya seperti daerah yang ditutupi dengan hutan lebat, rawa, dan pegunungan penuh dengan hewan buas seperti harimau, buaya, ular berbisa, kalajengking dan juga penuh dengan berbagai macam penyakit. Untuk pembangunan jalur rel dan membuka hutan, banyak digunakan rakyat dari berbagai daerah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan dari daerah Banten sendiri.

Tidak ada data yang pasti berapa jumlah romusha yang dipakai untuk membangun jalur ini, namun dalam buku War, Nationalism, and Peasants: Java Under The Japanese Occupation 1942-1945, karya Shigeru Sato, disebutkan bahwa dipekerjakan tidak kurang 25.000 sampai 55.000 buruh romusha harian. Dalam sebulan hampir 500 orang romusha tewas dalam proses pembangunan jalur ini. Pada umunya para romusha tewas karena kelaparan, kurangnya obat-obatan, pekerjaan yang berat diluar batas kemampuan para romusha, dan penyakit seperti Malaria dan Disentri. Romusha yang tewas kemudian dikuburkan dengan cara dikumpulkan dalam satu lubang, di satu lubang kuburan itu terdapat lebih dari sepuluh mayat romusha. Untuk mengganti romusha yang tewas, Jepang kemudian merekrut jumlah romusha yang lebih banyak pada tiap harinya.



para romusha

Cara yang dilakukan Jepang untuk merekrut pekerja baru adalah melakukan propoganda, yaitu Jepang mengundang para pemuda untuk ikut ambil bagian dalam proyek pembangunan jalur kereta api Saketi-Bayah, dan yang ikut akan mendapatkan bayaran 40 sen gulden dan 250 gram beras. Tidak hanya itu Jepang juga bekerja sama dengan kepala desa untuk merekrut tenaga kerja. Seperti contoh yang dimuat dalam buku yang sama karya Shigeru Sato halaman 181 “Salah satu artikel dalam Jawashinbun yang melaporkan pembukaan jalur kereta api ini, memuji kepala Desa Cilankahan, Bayah Raden Kartahujaya untuk kerjasama positif nya dari tahap awal dalam tugas yang sulit, yaitu perekrutan tenaga kerja”. Cara paksaan pun juga digunakan untuk merekrut tenaga kerja, seperti yang dialami oleh Ahmad Parino salah seorang romusha yang masih selamat asal Purworejo kelahiran tahun 1924. “Waktu itu selepas pulang Sekolah Rakyat (SR), saya ditangkap tentara Jepang untuk dikirim menjadi Romusha di wilayah Banten. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3,” katanya. Tidak hanya seorang Ahmad Parino, beberapa temannya pun ikut dibawa oleh tentara Jepang ke Banten untuk dipekerjakan sebagai romusha.

Selama bekerja membangun jalur kereta api Saketi-Bayah, para romusha tidak jarang juga mendapat penyiksaan dari tentara Jepang. Para romusha itu dipaksa terus bekerja, baik itu membuka hutan atau memasang jalur rel untuk jalannya kereta.

Maret 1944 jalur ini selesai dibangun, dan mulai digunakan pada 1 April 1944. Jalur ini lebih beruntung ketimbang jalur kereta maut Pekanbaru-Muaro Sijunjung karena, jalur ini masih digunakan untuk mengangkut batubara hingga tahun 1950-an. Tidak seperti jalur Pekanbaru-Muaro Sijunjung yang hanya digunakan sekali untuk menjemput para romusha yang masih hidup dan tertinggal di tengah belantara hutan Sumatera.

Setiap harinya maksimum 300 ton batu bara muda dibawa ke Saketi. Selain batu bara, ada pula kereta api penumpang, namun karena daerah ini berpenduduk jarang, sebagian besar penumpang adalah pekerja kereta api atau pekerja tambang. Setiap harinya 800 penumpang bepergian, yang diangkut dengan 15 kereta kelas 3. Jalur ini dibangun relatif lebih kokoh daripada jalur Pekanbaru, dengan 20 jembatan, semuanya dengan ujung-ujung dari batu.

Jumlah romusha yang meninggal dalam pembangunan jalur kereta maut Saketi-Bayah belum diketahui jumlah pastinya. Namun, asal kata Saketi dalam bahasa Sunda berarti 100 ribu banyak yang menganalogikan bahwa 100 ribu itu adalah jumlah romusha yang tewas dalam proyek pembangunan jalur kereta api maut ini. Tan Malaka menyebut dalam memoarnya, sampai akhir masa kependudukan Jepang luas kuburan tempat pemakaman romusha adalah 38 hektar. Untuk mengenang para romusha yang tewas, pemerintah membangun sebuah tugu di sebelah kantor Kecamatan Bayah, namun kondisinya sekarang kurang terawat.

Sekarang kuburan ribuan korban romusha di Pantai Pulo Manuk sudah tidak terlihat. Bekas jalur-jalur rel kereta dan stasiun mungkin sudah lama hilang oleh tangan-tangan perusak yang tidak menghargai sejarah. Goa-goa bekas tambang pun sudah sulit dilacak. Namun deburan ombak pantai Pulo Manuk masih menyisakan eksotisme berpadu dengan matahari senja merona cahaya yang tak akan pernah sirna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar